Selasa, 21 September 2010

KESEJAHTERAAN FAKTOR PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

aSUDAH menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air sampai saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan untuk mendukung kesimpulan itu. Rata-rata hasil ujian akhir nasional, ujian akhir sekolah atau apa pun namanya untuk semua mata pelajaran berkisar pada rentangan 5 sampai 7 saja.

Berbagai hasil survei yang dilakukan oleh lembaga internasional juga menempatkan prestasi siswa Indonesia pada posisi bawah.
Terakhir, hasil survei TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciencies Study) di bawah payung International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang matematika dan pada posisi ke-36 untuk bidang sains dari 45 negara yang disurvei (Kompas, 22/12/2004). Bahkan, di Jawa Timur, dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri daerah yang diumumkan beberapa hari lalu dilaporkan banyak formasi yang tidak terisi karena tidak satu calon pun yang mengikuti ujian memenuhi nilai standar (passing grade) yang ditetapkan.

Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta.

Pendidikan adalah aset berharga bagi setiap orang. Bahkan kualitas pendidikan sangat menentukan maju tidak sebuah daerah. Saat ini sektor pendidikan belum menjadi sektor utama perhatian pemerintah. Buktinya, masih banyak sekolah rusak, anak putus sekolah dan buta huruf. Pada tingkat SD hingga SMP, pemerintah telah mencanangkan program sekolah gratis. Terutama yang berada pada daerah pemukiman dan pinggiran kota. Hal ini dimaksudkan agar memberikan peluang bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat mengenyam pendidikan sama dengan masyarakat yang memiliki taraf hidup lebih tinggi.
Selain itu adanya penambahan sekolah yang berada di pulau-pulau.

Ditingkat SMA, pemerintah melakukan terobosan melalui Sistem Sekolah Cerdas, melaksanaklan manajemen sekolah dengan basis teknologi informasi, peningkatan mutu saing keluaran siswa melalui ujian akhir yang dilakukan secara ketat dan beberapa upaya lainnya.

Sehubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan kita masih di bawah standar alias belum memenuhi harapan. Di balik semua upaya yang telah dilaksanakan, masih memiliki catatan-catatan yang masih perlu dibenahi. Kita bisa memulai dari proses mengajar di sekolah . Dimana keterlibatan guru sangat besar manfaatnya, termasuk penyediaan fasilitas belajar mengajar. Bicara mengenai kondisi guru, sekarang masih banyak yang belum memenuhi standar nasional yang menyebabkan kualitas murid juga kurang bagus. Belum lagi penyediaan sarana dan prasarana belum memadai seperti yang diharapkan. Misalnya banyak gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian dan harus segera dibenahi karena sangat mempengaruhi peningkatan kualitas pendidikan kita.

Komitmen pemerintah sebenarnya cukup kuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah telah berupaya namun belum dapat mengangkat totalitas kinerja dan peningkatan pendidikan. Jika melihat secara parsial kondisi pendidikan sempat dibenahi tetap belum signifikan mengangkat kualitas pendidikan.

Menurut Polling dalam Pendidikan Network pada tanggal 1Juni 2007 Mutu Pendidikan Disebut Sebagai Hal Utama Bagi Pendidikan Bagian Yang Mana?

Kurikulum / Silabus 31.56 % (107)

Jumlah Mata Pelajaran 0.88 % (3)

Kualitas Guru 28.02 % (95)

Sarana/Prasarana/Peraga 9.44 % (32)

Teknik Belajar/Mengajar 27.73 % (94)

Menurut Polling di atas berarti Kualitas guru mempengaruhi mutu pendidikan, bagaimana cara kita untuk meningkatkan mutu guru, itu yang menjadi PR bagi pemerintah kalau menginginkan pendidikan di Indonesia lebih maju dan tidak tertinggal dengan Negara lain.

Faktor Kesejahteraan

Faktor yang paling menonjol dan sering dituding sebagai biang keladi kelemahan sistem pendidikan adalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Benarkah? Sebenarnya terlalu sulit untuk menjawabnya. Karena dalam konteks pendidikan akan bersinggungan secara langsung dengan mentalitas penyelenggara dalam lembaga pendidikan. Benarkah jika dengan disejahterakannya para guru sudah dapat ditarik garis linear terhadap peningkatan kualitas pendidikan?

Mengukur Kinerja

Salah satu indikator keberhasilan bidang pendidikan adalah kemampuan dalam mengukur kinerja tenaga kependidikan. Benarkah dengan adanya peningkatan kesejahteraan, sebagaimana yang termaktub dalam UU Guru dan Dosen tersebut, para guru dan dosen dapat lebih meningkatkan kinerja. Atau jangan-jangan malah karena sudah terlalu "dimanjakan" maka akan semakin tidak menunjukkan kinerja yang baik. Pernyataan yang terakhir tentulah sangat tidak arif untuk disampaikan kepada para guru dan dosen yang secara kasat mata adalah pioner terdepan yang mengusung aspek moralitas bangsa.
Merekalah yang menjadi garansi baik-buruknya moralitas anak bangsa ini ke depan.
(Dibuat Oleh : Bapak Masyhadi S.Pd.I Selaku Kepala MA Silahul Ulum)

PENTINGNYA PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN

Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu ketenteraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karenanya. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat kita baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.
Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa Negara lain sebagai sarang teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Dalam era global seperti saat ini arus Informasi, orang, produk, jasa, amat sangat bebas, tidak bisa dibendung lagi. Keadaan ini juga akan mendorong suburnya perilaku kekerasan dalam masyarakat kita. Melalui arus informasi, produk, jasa, yang bebas itulah pesan-pesan kekerasan ikut masuk ke dalam sistem kehidupan masyarakat kita secara tidak sadar, bagaikan aliran darah dalam tubuh kita: mengalir dan beredar tanpa henti, tetapi tak pernah kita sadari.
Perilaku kekerasan tidak mungkin terjadi dengan tiba-tiba. Sese-orang menampilkan perilaku itu merupakan hasil belajar juga, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika demikian halnya, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan secara dini melalui program pendidikan agar budaya damai, sikap toleransi, empati, dan sebagainya dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar. Upaya pencegahan kekerasan melalui program pendidikan amat penting, jika kita mengacu hasil Penelitian Komisi Carnigie untuk Pencegahan Konflik yang Mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya: (1) berbagai bentuk konflik yang mematikan bukan tidak mungkin untuk dapat dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah conflik yang mematikan semakin urgen; dan (3) pen-cegahan konflik yang mematikan adalah sangat mungkin untuk dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis. Dunia ini dalam keadaan bahaya bukan karena adanya kelompok orang tertentu melakukan berbagai kekerasan, tetapi justru disebabkan oleh orang-orang yang tahu adanya berbagai kekerasan tetapi tidak melakukan pencegahan apapun.
Dunia pendidikan sangat memungkinkan untuk membudayakan pemecahan konflik yang akhirnya dapat mencegah perilaku kekerasan. Secara teoritik ada banyak cara untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan ke-kuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dsb. Cara-cara tersebut sering tidak efektif, dan selalu ada yang menjadi korban. Saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict resolution (Resolusi Konflik). Bentuk-bentuk Resolusi Konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan integratif agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan. Hanya melalui generasi penerus yang mampu menegakkan budaya damai dan anti kekerasanlah kita akan berhasil membangun masyarakat masa depan yang bisa tumbuh secara beradab dan demokratis. Sebaliknya generasi penerus yang tidak mampu melakukan resolusi konflik akan terdorong ke kawasan kehidupan masyarakat yang anarkis dan dalam jangka panjang masyarakat yang demikian itu akan terisolir dari percaturan global.
Berbagai bentuk resolusi konflik yang dapat diintegrasikan dalam program pendidikan antara lain: (1) negosiasi; (2) mediasi; (3) arbitrasi; (4) mediasi-arbitrasi; (5) konferensi komunitas; dan (6) mediasi teman sebaya. Negosiasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam konflik kekerasan dengan tujuan utama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan.
Mediasi adalah sebuah proses yang bersifat sukarela dan rahasia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu orang-orang mendiskusikan dan menegosiasikan persoalan-persoalan yang amat pelik dan sulit agar tercapai kesepakatan sehingga konflik yang membawa berbagai bentuk kekerasan dapat dihindarkan. Langkah-langkah penting dalam mediasi sebagai salah satu bentuk dari resolusi konflik ialah: pengumpulan informasi, perumusan masalah secara jelas dan jernih, pengembangan berbagai opsi, negosiasi, dan formulasi kesepakatan. Bentuk Resolusi Konflik ketiga, arbitrasi, merupakan proses yang mana pihak ketiga yang netral mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan konflik setelah ia mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan berbagai argumen dari kedua belah pihak yang sedang terlibat dalam konflik.
Selanjutnya, mediasi-arbitrasi merupakan sebuah hibrid yang mengkombinasikan antara bentuk mediasi dan arbitrasi. Artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam konflik mencoba untuk melakukan pemecahan melalui mediasi, tetapi jika tdak ditemukan pemecahannya kemudian mereka menempuh cara arbitrasi. Bentuk Resolusi Konflik yang kelima, konferensi komunitas, merupakan dialog yang terstruktur dengan melibatkan semua unsur dan atau anggota masyarakat (pelaku kekerasan, korban, keluarga, para sahabat, dsb.) yang mengalami dan menderita akibat dari dari adanya kekerasan kriminal. Semua unsur masyarakat saling memberi kesempatan untuk menyatakan posisinya, persaannya, persepsinya, terhadap kekerasan yang sudah terjadi, dan bagaimana usul mereka untuk menyelesaikan persoalan yang ada itu.
Akhirnya, mediasi teman sebaya merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di mana dalam proses itu anak-anak muda bertindak sebagai mediator untuk membantu menyelesaikan pertikaian di antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para siswa dapat dilatih dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan perannya sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pelajari budaya damai dan budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang dihadapi oleh para rekan sejawat mereka.
Persoalannya sekarang ialah, bagaimana caranya mendidikkan berbagai bentuk resolusi konflik itu kepada para siswa kita. Untuk ini kita dapat menggunakan pendekatan simulasi, bermain peran, observasi, penangaanan kasus, dsb. agar para siswa memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam menyosialisasikan gerakan anti kekerasan. Dengan demikian, untuk mendidik siswa agar bisa menerima gagasan dan perilaku anti kekerasan, berbagai bentuk resolusi konflik sebagaimana dijelaskan di atas perlu diperkenalkan kepada siswa dalam proses belajar-mengajar di kelas secara terintegrasi, bukan secara monolitik.
Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum secara khusus. Cukup guru memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara terintegrasi dengan bidang studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita memiliki nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan, sungguh kita sebagai bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada di Republik ini.
(Dibuat oleh : Bpk Mudzakirin Selaku Guru TIK MTs Silahul Ulum)

PEMBERDAYAAN SEKOLAH BERNUANSA IMTAQ

Keimanan dan ketaqwaan siswa merupakan core tujuan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, lembaga pendidikan sekolah yang efektif dinilai merupakan salah satu wahana yang sangat efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan alasan karena melalui proses pendidikan di sekolah peserta didik akan memperoleh bukan saja aspek pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga sikap. Dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan siswa melalui lembaga pendidikan sekolah, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengembangkan lima strategi, yakni (1) optimalisasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, (2) integrasi Iptek dan Imtaq dalam proses pembelajaran, (3) pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler berwawasan Imtaq, (4) penciptaan situasi yang kondusif dalam kehidupan sosial di sekolah, dan (5) melaksanakan kerjasama antara sekolah dengan orangtua dan masyarakat.

Sesuai dengan perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, dipandang perlu dibangun paradigma baru yang relevan dengan program peningkatan Imtaq dengan melibatkan seluruh komponen sekolah, termasuk pemangku kepentingan sekolah atau stakeholders pendidikan. Paradigma baru ini kemudian dikenal dengan Pemberdayaan Sekolah Berwawasan Imtaq. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui program Pembinaan Sekolah Berwawasan Imtaq tersebut adalah (1) semiloka peningkatan Imtaq Siswa, (2) Integrasi Imtaq-Iptek dalam proses pembelajaran di sekolah, (3) Bulletin/Poster Religiusitas, (4) Lomba Karya Tulis Peningkatan Imtaq, dan (5) Pemberian Subsidi Pemberdayaan Sekolah Berwawasan Imtaq.
(Dibuat oleh : Bpk. Moh. Abbad selaku guru TIK kelas XII MA Silahul Ulum)

TREND LIBERAL, MENUJU KEHIDUPAN YANG SEKULER

Kebanyakan masyarakat awan, memandang kalau jadi orang yang modern itu, adalah orang yang selalu mengikuti perkembangan “ mode atau trend “ yang sedang  berkembang dimasyarakat dewasa ini, seperti gaya hidup yang serba mewah ( glamour ). Pandangan  semacam ini adalah pandangan yang salah kaprah atau salah tafsir dari makna sebenarnya.
            Definisi modernisasi menurut Sorjono Soekanto tyaitu suatu bentuk dari perubahan social, yang biasanya merupakan perubahan social yang terarah ( directed change ) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Sedangkan menurut Widjojo Nitisastro modernisasi mencakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi social, kearah pola-pola ekonomis dan politis.
            Berdasarkan pendapat diatas, maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut :
            Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatkan taraf penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
            Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa arti dari modernisasi adalah proses perubahan dari cara – cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, dimana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
            Tapi realita yang ada, didalam masyarakat makna modernisasi lebih condong  kea rah westernisasi  ( gaya hidup ala barat ). Hal itu dapat dilihat dari tayangan mass media terutama TV yang sudah menjadi bagian “ hidup “ masyarakat Indonesia , misalnya acara Mama Mia, Star Dut, KDI, AFI, yang mempunyai dampak negative lebih besar dari pada dampak positif. Contoh dampak negative dari tayangan itu :
            Bisa kita perhatikan bahwa kecenderungan generasi muda sekarang sudah mengabaikan dunia pendidikan, bahkan cita-cita mereka banyak yang menjadi selebritis, sehingga minat belajar mereka kedunia pendidikan semakin merosot.
1.   Dari segi moral, mengalami degradasi moral ( kemunduran moral ), hal ini bisa dilihat dari  cara berpakaian yang tidak sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, dimana 80 % masyarakat sebagian besar muslim. Dan kenyataannya mereka dalam kehidupan sehari – hari lebih mengarah pada kehidupan yang sekuler ( mementingkan kehidupan keduniawian ) .
            Padahal dalam ajaran agama Islam sudah dijelaskan tatanan kehidupan yang seimbang dunia dan akhirat. Kita semua mengharapkan semoga masyarakat Indonesia senantiasa menjunjung nilai-nilai agama dan martabat manusia, sehingga bisa menuju kehidupan masyarakat yang madani ( seimbang kehidupan dunia akhirat, seperti yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW di kota Madinah ).
Dari permasalahan diatas, bisa diatasi dengan cara :
1.     Hendaknya masyarakat paham dan mengetahui makna dari kata modern.
2.   Orang tua  hendaknya lebih aktif memotifasi anak agar lebih memperhatikan ke dunia pendidikan. Apalagi dalam agama Islam, bahwa  menuntut Ilmu itu Fardlu a'in  ( wajib ).
1.         Hendaknya pemerintah menetapkan kebijaksanaan mengenai acara-acara yang boleh ditayangkan di TV             ,terutama acara-acara yag mendidik.
2.         Pendidikan agama sebaiknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.         Masyarakat harus berhati-hati terhadap masuknya budaya asing , sebab terjadinya kontak budayak Indonesia  dengan budaya bangsa lain dizaman globalisasi , kalau tidak memiliki pedoman hidup yang kuat ( ( Iman ), masyarakat Indonesia  lambat laun dijajah kebudayaan oleh bangsa Eropa yang beridiologi liberal ( bebas ).
a.         Perbedaan :
            1.         Moderisasi :
                        i.          Tidak mutlak sebagai westernisasi atau sekularisasi
                        ii.          Tidak mempersoalkan atau mengenyampingkan
(Dibuat oleh : Ibu Rifatun Nasikhah Selaku Guru Sejarah MA Silahul Ulum) 

Paradigma Pengembangan Sekolah Unggulan

Sekolah unggulan dapat diartikan sebagai sekolah bermutu. Namun dalam penerapan semua kalangan bahwa dalam kategori ungulan tersirat harapan-harapan terhadap apa yang dapat diharapkan dimiliki oleh siswa setekah keluar dari sekolah umggulan. Harapan itu tak lain adalah sangat penting dan sangat dibutuhkan  oleh orang tua siswa, pemerintah, masyarakat bahkan oleh siswa itu sendiri yaitu sejauh mana keliaran (output ) sekolah itu memiliki kemampuan intelektual,moral dan keterampilan yang dapat berguna bagi masyarakat
            Untuk mensikapi semua itu, kita harus mengubah sistyem pembelajaran yang selama ini berlaku disemua tingkat pendidikan yaitu adanya keterkurungan siswa dan guru dalam melaksakan PBM.Siswa dan guru dikejar dalam pencapaian target kurikulum dalam arti, guru dituntut untuk menyelesaikan materi yang ada dalam kurikuluam tanpa memperhatikan ketentuan belajar siswa,disamping adanya anggapan bahwa belajar adalah berupa transformasi pengetahuan
            Pada sisi unggulan semua system itu seharusnya tidak diterapkan agar apa yang mencapai harapan siswa, orang tua siswa, pemerintah,masyarakat bahkan kita selaku pengajar dan pendidik dapat tercapai. Mari kita sama-sama merubah semua itu dengan mengembangkan learning how to learn (Murphi, 1992) atau belajar bagaimana belajar, artinya belajar itu tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tapi jauh lebih penting adalah mempersiapkan siswa belajar lebih jauh dari sumber-sumber yang mereka temukan dari lingkungan dimana dia tumbuh guna mengembangkan potensi dan perkembangan dirinya atau dengan kata lain belajar pada hakekatnya bagaimana mengartikulasikan hidup yang sedang dan akan dihadapi oleh siswa.
            Secara pribadi dalam hal mengembangkan sekolah kearah sekolah unggulan (sekolah bermutu) disamping perubahan–perubahan tersebut masih banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya : Sarana dan prasarana, menejemen persekolahan, Visi dan Misi sekolah, Profesionalisme guru dan lain-lain. Untuk profesionalisme guru bukan berarti menguasai sebagian besar pengetahuan tetapi lebih penting adalah bagaimana membuat siswa dapat belajar , guru dan siswa disederhanakan agar tidak gep, adanya perilaku guru yang membuat siswa tersisih atau terpisah dari gurunya , guru dan siswa harus terjalin komunikasi agar dalam proses pembelajaran ada keterbukaan siswa mengeritik dan mengeluarkan pendapat. Sebab bukan tidak mungkin dengan pengaruh perkembangan teknologi siswa lebih pintar dari gurunya.
(Dibuat oleh :  Ibu Juyati Selaku Guru Bhs. Indonesia MA Silahul Ulum)

KONSEP PENDIDIKAN DALAM KITAB "TA'LIM MUTA'ALIM"

"Ta'limul Muta'alim" adalah kitab kecil yang biasanya di khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari hasil rangkuman Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis kepada pencari ilmu, tidak masuk akal, pembangkit kultus dan sebagainya, bukan lainnya "Ta'limul Muta'alim" itu tapi kitab itu masih saja terus dibaca di pesantren salaf manapun.
            Pada kenyataannya, seberapa besar nafi' dan muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh  orang tua tholib. Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut. Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya wajib (fardhu) Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab . "Ta'limul Muta'alim".
            Asas manfaat yang mendasari keibadahan tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang "allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal yang melibatkan Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah. Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan, "Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh tentu mulia 'nda siwahu min kholqihi. Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang bermanfaat).
            Berangkat dari sini, kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia dan akhirat.
            Tampilan ta'dhim yang beraneka bentuk itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas layak-wajar. Karena memang ta'dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta'dhimkannya. Dan merupakan       Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.  Untuk itu tholib harus pandai dan cermat menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupun dia tidak dibenarkan sembarangan dan asal-asalan. Pilihan yang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada kesungguhan ta'dhim.
            Dalam hal tholib memilih guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan sebagai handal (al a'lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat serta menjaga muru'ah (al-auro') dan yang memiliki nilai lebih dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama (kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT guru disamakan dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
            Melakukan pilihan sendiri secara cermat terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab "at thob'u saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat mempengaruhi perilaku dan penilaian.Dalam kaitannya dengan tradisi keilmuan, apabila kita tengok masa-masa jauh sebelum Az-Zarnuji, misalnya periode imam-imam penegak mazhab, kita dapat memperoleh gambaran bahwa mereka tidak selamanya  sependapat dengan gurunya. Bahkan, diantara mereka ada yang mendirikan madzhab sendiri, terpisah dari madzhad gurunya. Jauh sebelum itu, umar bin khathab pernah juga diprotes oleh seorang wanita yang juga sebagai muridnya. bila petuah Az-Zarnuji diatas menjadi criteria, sebenarnya gurulah yang harus elastis dalam memaknai kerelaannya. Sebab, boleh jadi seorang guru merasa tersinggung apabila muridnya berpendapat lain, selama hal itu berdasarkan argument yang kuat. Ternyata banyak juga murid yang sewaktu belajar pernah melakukan unjuk pendapat terhadap gurunya, tapi setelah terjun di masyarakat justru menjadi ulama besar.Tentang hubungan pendidik anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi bagi masing-masing.  Kelanggengan hubungan antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal: at-tarbiyah.
            Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL MUTA'ALIM.garapan tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim, dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
(Dibuat oleh : Bpk. Jauhari Mubarok selaku guru TIK kelas X dan XI MA Silahul Ulum)